Foto/Sukriansyah S Latief   

"Berada di puncak gunung benteng 'Tanjung Harapan' menyaksikan pertemuan dua arus besar Samudera Atlantik dan Samudera Hindia, tidaklah berarti Anda akan melihat derasnya hantaman dari dua arus besar itu. Meski Anda memakai teleskop, ternyata yang terlihat hanya pertemuan doa ombak yang tidak begitu deras, demikian Wartawan Senior Sukriansyah S Latief menggambarkan perjalanannya ke Tanjung Harapan dengan sangat menarik. Meletakkan sejarah dan memaknainya ulang. Berikut adalah tulisan lengkap Sukriansyah S Latief dalam perjalanannya ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan" (-red)

Oleh: Sukriansyah S Latief  

TIGA jam mengendarai mobil Kijang Condor Estate dari Cape Town melewati Simon Town ke Tanjung Harapan, sama sekali tidak terasa lamanya. Pemandangan yang indah di sepanjang perjalanan membuat tak satu pun dari kami tertidur, meski saya dan beberapa teman sudah kelelahan akibat padatnya acara-acara resmi. Beberapa kali kami berhenti di jalan, hanya untuk mengambil gambar pantai-pantai yang indah, bunga-bunga yang sedang mekar, juga pemandangan Cape Town dari puncak gunung. Sampai di benteng Tanjung Harapan (The Cape of Good Hope) kita dapat menggunakan 'funicular railway' dengan mengeluarkan 31 rand (naik-turun) untuk sampai di pelataran Tanjung Harapan. Saya dan beberapa teman terpaksa menggunakan 'trem' itu karena tak sanggup lagi berjalan kaki menaiki ratusan anak tangga dengan ketinggian sekitar 300 meter. Tiba di pelataran Tanjung Harapan, kami masih harus berjalan menaiki puluhan anak tangga lagi untuk sampai ke puncak.

Sebenarnya, tak begitu istimewa berada di puncak gunung Tanjung Harapan. Sama saat berada di puncak Gunung Titlis di Swiss, di sini pun terdapat toko yang menawarkan souvenir dan makanan kecil. Bedanya, karena mesti di puncak gunung, ada juga penyambutan 'nyanyi-nyanyian' dari warga kulit hitam. Inilah yang membuat suasana menjadi hidup mesti di bawah terik sinar matahari dan hembusan angin yang kencang. Puluhan pelancong dari Amerika, Eropa, Asia, juga wisatawan lokal, memenuhi puncak gunung tersebut. Dengan mata telanjang, kita dapat melihat sampai 800 km ke arah Timur. Sebagian wisatawan ingin yang melihat indahnya laut dan pertemuan dua arus besar itu, mesti menggunakan teleskop dengan mengeluarkan 5 rand dari koceknya.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Yang cukup besar dana yang dikeluarkan di sini, adalah untuk makan siang. Satu-satunya restoran yang baik adalah 'Restoran Pertemuan Dua Samudera'. Harganya pun tentu 'lumayan baik'. Dengan pesanan kentang dan ayam, ditambah air putih dan teh saja, setiap orang mesti mengeluarkan hampir 100 rand. Begitulah Afrika Selatan, semuanya serba mahal bila dihitung memakai rupiah. Kaos oblong saja yang bertanda negara tersebut, harganya berkisar 200 rand. Tanjung Harapan memang harapan saya sejak lama untuk sampai ke sana. Tapi soal belanja, agaknya, di sini bukan harapan yang baik, alias saya tak punya harapan. Tapi sudahlah, yang penting bahwa Tanjung Harapan inilah yang merupakan salah satu primadona wisata Afrika Selatan, dan saya sudah merasakan 'nikmatnya'.

Tanjung Harapan memiliki sebuah cagar alam yang daerahnya meliputi hingga ke bagian Selatan. Luasnya sekitar 8000 ha dengan lebih di 1000 jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan, seperti burung onta, kuda zebra, ikan paus, singa laut, dan ikan lumba-lumba. Selain itu, dan ini yang paling terkenal, adalah baboon atau kera besar. Populasinya sangat banyak dan cukup pandai.

Foto/Sukriansyah S Latief  

Kami diingatkan untuk menutup kaca mobil, karena baboon tak segan mendekat dan masuk. Dia pun pandai membuka dan menutup kaca jendela bila sudah masuk ke dalam mobil. Mayoritas para wisatawan yang jumlahnya sampai 400 ribu per tahun mengunjungi Tanjung Harapan menggunakan bus menuju pusat Tanjung Harapan dengan tujuan menikmati makan siang di restoran 'Pertemuan Dua Samudera'. Sayangnya, dengan naik bus, wisatawan banyak melewatkan keindahan alam yang mengelilingi daerah ini. Apalagi selain Tanjung Harapan, juga ada Cape Point, yang dianggap sebagai titik pertemuan antara Samudera Atlantik dan Samudera Hindia.

Padahal, yang benar pertemuan, pertemuan kedua arus deras itu berada di Cape Agulhas. Pada tahun 1487, Bartolomeu Dias berlayar dari Portugal untuk mencari harta karun di daerah Timur. Selama berlayar di pantai Afrika, tidak sedikit masalah yang ditemui. Akibatnya, pelayaran tersebut memakan waktu yang sangat lama dengan tingkat risiko yang tinggi. Dias terus berlayar menyusuri pantai Barat Afrika dan sebelum mencapai tanjung, dia dihempaskan oleh badai. Dias dan rombongannya melanjutkan pelayaran ke Timur dengan harapan dapat menemukan pantai Barat.

Namun setelah berlayar selama beberapa hari tapi tak menemukan tanda-tanda adanya daratan, mereka memutuskan untuk berlayar menuju Utara. Pada 3 Februari 1488, mereka menemukan daratan di muara sungai Gouritz. Secara tidak sadar, mereka telah mengelilingi sebuah tanjung. Dias dan awaknya adalah orang yang pertama melakukan hal ini. Saat Dias dan awaknya kembali ke pantai Hout, muncullah perdebatan mengenai siapa yang pertama kali memberikan nama untuk tanjung yang pernah didatangi oleh Dias.

Foto/Sukriansyah S Latief  

Ada yang mengatakan bahwa Dias telah memberi nama tanjung tersebut dengan sebutan Cape Cabo Tormentosa atau Cape of Storms (Tanjung Badai). Namun setelah berpetualang, nama tersebut diganti menjadi Cabo de Boa Esperanca atau Cape of Good Hope (Tanjung Harapan). Nama yang terakhir ini dipersembahkan untuk Raja Portugal karena seluruh daerah di Tanjung Harapan menjanjikan kemakmuran bagi masyarakat Timur. Sepuluh tahun kemudian, Vasco Da Gama merencanakan sebuah pelayaran dari Portugal. Dia ingin berlayar melewati tanjung dan berakhir di India. Da Gama adalah orang pertama yang mengelilingi tanjung.

Perjalanan Da Gama sekaligus membuka jalur yang menghubungkan Eropa dan Timur. Penemuan Da Gama makin memperkuat arti nama Tanjung Harapan yang bermakna kemakmuran. Untuk mengenang jasa Dias dan Da Gama, sebuah jalur silang dibangun di kota Bordjiesrif. Tanjung ini menjadi sebuah landmark penting bagi para angkatan laut, sekaligus menjadi sebuah lokasi strategis bagi para pelaut untuk beristirahat serta mengisi perut. Pada 6 April 1652, seorang pria berkebangsaan Belanda bernama Jan van Riebeeck berlayar untuk memulai kegiatan perdagangan Hindia - Belanda.

Dia ditugaskan untuk menciptakan wilayah dagang Hindia-Belanda bersama India. Kapal-kapal Jan van Riebeeck berlayar melewati tanjung dan membuat sebuah gebrakan besar. Pada tahun 1658, budak belian didatangkan ke daerah Tanjung Harapan untuk membangun sebuah kastil. Budak tersebut berhasil membangun Benteng Tanjung Harapan (Fort Good Hope). Melewati tahun 1679, budak belian makin banyak didatangkan sehingga dibangunlah sebuah Penampungan Budak. Sekitar tahun 1693, jumlah budak belian bahkan melampaui jumlah masyarakat.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Perkebunan anggur makin banyak dibuka dan tanah diberikan untuk para penjajah. Penjajah pun membangun perkebunan dalam jumlah banyak. Sebuah isu merebak sekitar tahun 1800 an yang menghembuskan berita kekuasaan Inggris dan Belanda. Tanjung Harapan terus memberikan hasil alam yang melimpah. Kekuasaan pun saling diperebutkan untuk mengontrol daerah tersebut. Pada tahun 1792, Tanjung Harapan diduduki oleh Inggris. Namun pada tahun 1803, kolonialisme Belanda kembali berkuasa. Pada tahun 1806, terjadi perang antara Inggris dan Perancis. Inggris menang dan berhasil menguasai Tanjung Harapan hingga tahun 1910.***

Sukriansyah S Latief adalah Wartawan Senior